PENDIDIKAN KEBIDANAN PADA CALON PARAJI UNTUK MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN IBU
Lebih dari separo (104,6 juta orang) dari total penduduk Indonesia (208,2 juta orang) adalah perempuan. Namun, masih sedikit sekali perempuan yang mendapat akses dan peluang untuk berpartisipasi pembangunan. Ini terlihat dari semakin turunnya nilai Gender Development Index (GDI) Indonesia dari 0,651 atau peringkat ke 88 (HDR 1998) menjadi 0,664 atau peringkat ke 90 (HDR 2000). Tingkat HDR tersebut berpengaruh pula pada tingginya AKI. Padahal, rendahnya AKI mengindikasikan kemajuan pembangunan kesehatan di Indonesia masih tergolong rendah (WRI, 2007). Data SDKI pada tahun 2007 mencatat bahwa AKI di Indonesia masih mencapai angka 228/100.000 penduduk meskipun angka tersebut mengalami penurunan dari 304/100.000 penduduk pada tahun 2003 (Noerdin, 2006). Di negara maju, diperkirakan kesalahan perhitungan AKI mencapai 50 persen. Oleh karena itu, diperkirakan AKI di Indonesia mungkin mencapai 594/100.000 (Kompas dalam Noerdin dkk., 2006). Namun, angka tersebut masih tergolong tinggi mengingat target AKI Indonesia pada MDGs 2015 nanti ialah 102/100.000 penduduk.
Selanjutnya, sebanyak 80% perempuan yang hamil, melahirkan, dan meninggal tinggal di perdesaan, 40% di antaranya tinggal di rumah-rumah dengan luas kurang dari 50 m2 dan 26% darinya tinggal di rumah berlantai tanah (BKKBN dalam Noerdin, 2006). Hasil penelitian lain ditemukan bahwa ternyata sekitar 65% seluruh masyarakat miskin, berdasarkan data dari World Bank pada tahun 2006, 35% menggunakamn jasa paraji, dan sisanya (65%) menggunakan penyedia layanan kesehatan rakyat seperti bidan di desa (29%), Puskesmas (26%), Puskesmas pembantu (Pustu) (10%), dan Posyandu (1%) (Mukherjee, 2006:16).
Meski praktik paraji tergolong sedikit dibandingkan jumlah persen seluruh pelayanan lainnya, AKI di Indonesia masih menjadi salah satu yang tertinggi di Asia dan dunia. Praktik paraji kerap dijadikan pilihan alternatif para calon ibu untuk membantu persalinan. Campur tangan paraji jauh lebih besar dibandingkan dengan bidan dalam proses persalinan terjadi di masyarakat luar jawa. Sebagai perbandingan, partisipasi bidan dan dokter di Surakarta hampir menncapai 98% sedangkan di kota Lebak partisipasi dukunlah yang mencapai angka 80% (Women Research Institute, 2008). Ditambah pula dengan hasil yang diperoleh World Bank pada tahun 2006 dalam Mukherjee ditemukan 76% perempuan miskin lebih memilih paraji untuk membantu persalinan karena akses pelayanannya yang dianggap lebih mudah diperoleh, sedangkan 64% laki-laki miskin memilih karena menimbang pilihan terhadap besar biaya yang digunakan. Sebagai contoh, biaya yang dikeluarkan untuk Paraji (Dukun beranak) di Soklak Jawa Barat ialah sekitar Rp.50.000,00-Rp.100.000,00, atau Rp.50.000,00 ditambah dengan 5 kg beras, sedangkan biaya yang dikeluarkan untuk bidan desa ialah antara Rp.300.000,00-Rp.400.000,00. Hal tersebut menunjukkan bahwa biaya bidan jauh lebih mahal dibandingkan dengan paraji (Mukherjee, 2006:18).
Kenyataan banyaknya paraji yang lebih dimanfaatkan masyarakat pun tidak sampai situ. Dibandingkan dengan penyebab kematian ibu yang lain, di kota Cimahi 11,11 persen persalinan yang dibantu oleh paraji meninggal dunia (Harian Umum Pelita, 2010). Pun demikian dengan yang terjadi di kota Sukabumi, di mana pada tahun 2009 tercatat 43 ibu meninggal dunia dalam persalinan, dengan 31 orang di antaranya dibantu oleh paraji (Noviansyah, 2010).
Sayangnya, praktik paraji yang beresiko tersebut tidak menyurutkan keinginan masyarakat untuk beralih ke bidan maupun dokter. Oleh karena itu, bila hanya mengharapkan ditambahnya tenaga terdidik seperti bidan, pembantu bidan, dan fasilitas-fasilitas ruangan persalinan, pemecahan ini masih akan sulit, memakan waktu yang lama, dan membutuhkan pembiayaan cukup besar. Ditambah lagi, jumlah bidan di pedesaan tidak banyak, sebanyak 30 ribu desa dari 85 ribu desa di Indonesia hingga kini belum memiliki bidan desa (Kuswandi dalam TVonenews&sport, 2010). Hal tersebut menyebabkan praktik paraji yang telah membudaya dan turun-temurun dilakukan masyarakat semakin sulit dihindari. Salah satu cara menurunkan angka kematian ibu (AKI) ialah mengadakan suatu pendidikan kebidanan pada para calon paraji.
Dengan adanya para ahli bidan yang datang dari keturunan paraji, tentunya masyarakat desa dapat dengan tenang menerima pelayanan kesehatan reproduksi berkualitas yang tidak lepas dari kearifan dasar para paraji yang telah membudaya turun-temurun.
Pendidikan Calon Paraji
Pendidikan terhadap calon paraji merupakan terobosan untuk menurunkan angka kematian ibu di Indonesia. Paraji juga akan dibekali dengan pengetahuan kesehatan masyarakat yang berguna untuk mencegah terjadinya hal-hal membahayakan kesehatan ibu selama kehamilan berlangsung dan selama terjadi persalinan. Hal ini dilakukan untuk menjaga dan meningkatkan keselamatan ibu pascapersalinan.
Pendidikan terhadap calon paraji dilakukan untuk memudahkan penerimaan informasi dari calon paraji, khususnya yang berkaitan dengan ilmu persalinan, kepada ibu hamil untukmenjaga kesehatan. Jika pendidikan dilakukan terhadap paraji yang sudah melakukan praktik, dikhawatirkan pendidikan yang dilangsungkan tidak mendapat tanggapan yang serius. Paraji yang sudah melaksanakan praktik memiliki pikiran bahwa praktik yang mereka lakukan sudah sepenuhnya benar sehingga tidak memerlukan pendidikan tambahan.
Pendidikan calon paraji juga bermanfaat untuk menghadirkan sarana pelayanan kesehatan di daerah-daerah yang masih atau bahkan belum memiliki sarana pelayanan kesehatan yang memadai. Meskipun demikian, pendidikan ini tidak ditujukan untuk menghapuskan kewajiban pemerintah dalam memberikan sarana dan pelayana kesehatan yang layak bagi rakyatnya. Program ini hanyalah bagian dari rencana jangka pendek pemerintah dalam menurunkan angka kematian ibu di Indonesia guna mencapai target MDGs pada tahun 2015 nanti.
Pendidikan calon paraji merupakan sebuah langkah tepat yang dapat menyatukan ilmu medis modern yang ada pada bidan dengan praktik pelayanan kekeluargaan yang telah membudaya di masyarakat pada dukun anak (paraji).
Pendidikan kebidanan pada calon paraji telah memenuhi tiga aspek yang dibutuhkan dalam menyatukan dua budaya berbeda yang dikenalkan oleh Michael Winkelman dalam Anggoroadi, rintangan sosial (social barrier), dan rintangan psikologi (psichological barrier).
1. Lunturnya rintangan budaya dalam kemitraan bidan dan paraji
Paraji telah turun-temurun menjadi orang yang berpengaruh pada proses persalinan. Oleh karena itulah tidak aneh jika pada akhirnya peran paraji telah membudaya di masyarakat. Peranan mereka dalam proses kehamilan dan persalinan berkaitan erat dengan budaya dan kebiasaan setempat. Sayangnya, Paraji yang biasa ditemukan di desa saat ini bukanlah paraji yang memahami benar bagaimana cara melayani asuhan prapersalinan, persalinan, serta pascapersalinan. Pendidikan kebidanan pada calon paraji tentunya dapat membantu kekurangan paraji dalam hal persalinan medis ini.
2. Paraji lebih mudah diterima masyarakat
Di tengah keterbatasan jumlah bidan dan tenaga kesehatan lain, keberadaan paraji dirasakan manfaatnya oleh warga di daerah terpencil. Di sejumlah kampung di Desa Cikondang, Garut, misalnya, hampir seluruh bayi dilahirkan dengan bantuan paraji (Rachmawati, 2007).
Hampir di tiap kampung ada lebih dari satu paraji yang siap dipanggil ke rumah warga untuk memijat ibu hamil, membantu persalinan, sampai memimpin upacara adat menyambut kelahiran bayi. Peran penting itu membuat keberadaan mereka telah berkembang jadi tokoh adat setempat yang dihormati. Padahal, jika dilihat dari sisi ekonomi, uang yang diperoleh sebagai paraji jauh lebih murah dibandingkan dengan idan. Bahkan ada yang hanya membayar Rp 15.000. Itu pun banyak yang mencicil pembayarannya.
Kondisi ini membuat masyarakat cenderung menggunakan jasa paraji dalam membantu persalinan. Sejumlah warga di daerah selatan Garut mengaku melahirkan anak-anak mereka dengan bantuan paraji meski rutin memeriksakan kehamilan pada bidan. Jika mengalami komplikasi seperti perdarahan, masyarakat baru minta pertolongan bidan (Rachmawati, 2007).
3. Psikologis masyarakat tetap tidak berubah
Dukun dilihat mempunyai ’jampe-jampe’ yang kuat sehingga ibu yang akan bersalin lebih tenang bila ditolong oleh dukun. Akibat dari membudayanya paraji di masyarakat. Selain itu, baik di desa maupun di perkotaan, dukun termasuk tipe pemimpin informal karena pada umumnya mereka memiliki kekuasaan dan wewenang yang disegani oleh masyarakat sekelilingnya. Wewenang yang dimilikinya terutama adalah wewenang karismatis. Secara teoretis, wewenang dapat dibedakan atas wewenang tradisional, wewenang rasionil dan wewenang karismatis. Dukun dianggap sebagai orang yang memiliki kekuasaan karismatis (Adimihardja K dalam Angorodi, 2006).
Dengan adanya akulturasi tersebut, masyarakat pedesaan yang masih menghargai peran paraji diharapkan semakin memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi yang baik.
Potensi Pendidikan Calon Paraji terhadap Penurunan AKI di Indonesia
Pendidikan terhadap paraji berpotensi menurunkan kematian ibu di Indonesia. Berikut ini beberapa potensi dari program pendidikan terhadap calon paraji dalam upaya menurunkan angka kematian ibu di Indonesia.
1. Meningkatkan ketersediaan tenaga medis di daerah-daerah terpencil. Paraji yang terdidik dan menguasai ilmu medis maupun kesehatan masyarakat dapat meningkatkan ketersediaan tenaga medis di daerah-daerah. Hal ini dengan sendirinya akan meningkatkan keterpaparan masyarakat terhadap akses sarana pelayanan kesehatan.
2. Mengurangi praktik pertolongan persalinan yang tidak aman sehingga mengurang risiko terjadinya komplikasi pada persalinan.
3. Memudahkan penanganan dan pemberian rujukan bila terjadi perdarahan atau komplikasi dalam persalinan.
4. Perawatan sebelum kehamilan yang senantiasa dilakukan paraji akan dipadukan dengan pemeriksaan ANC (antenatal care) terhadap ibu hamil. Hal ini dengan sendirinya akan meningkatkan persentase pemeriksaan ANC pada ibu hamil yang akan menurunkan risiko kematian ibu.
5. Perawatan setelah kehamilan yang dilakukan paraji juga akan membantu meningkatkan kesehatan ibu pascapersalinan.
6. Paraji juga dapat berperan sebagai kader dalam menyebarluaskan dan mengkomunikasikan program KB ke masyarakat sehingga masyarakat dapat mengenal berbagai metode KB dan memutuskan sendiri mana pilihan yang paling tepat untuknya. Hal ini akan menurunkan risiko kematian ibu akibat kehamilan pada usia tua atau terlalu sering hamil.
7. Mempromosikan upaya kesehatan Reproduksi. Promosi kesehatan reproduksi ini dapat saja dimulai dari masa prapersalinan, persalinan, serta pasapersalinan. Promosi ini dapat dijadikan sebuah langkah jitu yang jika berhasil justru dapat mensukseskan target pencapaian AKI yang semakin menurun dari tahun ke tahun. Dengan melalui paraji sebagai seorang ‘tokoh’ yang sangat dipercayai masyarakat desa, beserta bidan sebagai orang yang dianggap ahli medis di sampingnya, promosi ini dapat berjalan dengan lancar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar